Ini bukan tentang postingan
pertama kali, walau di situ aku juga nulis “pertama kali”. Ini mengenai semua
hal yang aku alami, aku peroleh untuk pertama kalinya dalam hidup.
Pertama kali nerima surat dari laki-laki a.k.a cowok
Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 4 SD. What?, kelas 4 SD udah dapat surat?. Ih biasa aja dong ekpresinya hehehe. Nggak ada yang mesti disalahin selain saat itu kita belum cukup umur untuk tau apa itu pacaran.
Ceritanya gini. Hari itu, seorang
kakak kelasku, anak kelas 5 datang ke kelas. dia manggil aku ke luar kelas, dan
bilang kalau aku dikirimi salam dan surat dari seseorang, #sambil nyodorin
kertas yang udah terlipat rapi tak beramplop. Aku ambil kertasnya, buka, dan aku
baca. Isi surat itu, seingatku, seperti sebuah ajakan berkenalan. Dalam
suratnya, dia (si pengirim surat) memperkenalkan namanya, alamatnya, dan yang
paling aku ingat dia juga menuliskan dia berasal dari suku mana. Kira-kira
kalau dialihkan ke bahasa saat ini seperti ini.
“Lo mungkin nggak tau siapa gw,
sebelumnya, kenalin, nama gw Iwan, rumah gw di Taopa, orang tua gw adalah orang Bugis. Gw liat lo di acara cerdas
cermat semalam”
Ya, hanya secuil itu yang aku
ingat dari isi surat itu. Selain karena kejadian itu sudah sangat lama, saat
itu aku juga nggak baca sampai tuntas isi surat itu seperti apa. Mungkin dia
pengen ketemuan, atau dia minta balasan surat dari aku, atau mungkin dalam isi
surat itu dia memuji-muji aku #hiaaks, yang ini pasti bohong dan fitnah.
Setelah pulang sekolah, aku
langsung menuju tempat penimbunan sampah di belakang rumah. karena malu akan
ketahuan sama nyokap, surat itu langsung aku sobek dan buang di tumpukan sampah
tersebut. coba aja kalau sekarang aku dikirimin surat kayak gitu, nggak bakal
mikir lagi untuk membaca habis isi
suratnya dan bakal mikir berkali-kali dulu untuk dibuang. Kan sayang. #ops.
Era digital saat ini, menerima surat telah menjadi sesuatu yang begitu langka. Surat undangan adalah pengecualian. Bukankah akan lebih simpel dan efektif jika berbicara langsung. Entah itu lewat telepon ataupun video call. Bukankah akan lebih cepat sampai jika mengirim sms dibandingkan mengirim surat. Ah, jaman mulai bergeser. Semuanya serba instan. Itulah alasan kenapa aku nyesel udah buang surat itu. Dalam hal ini, aku lebih suka pada proses dibanding hasilnya. Iya, proses pengiriman surat itu. Awal mula si Iwan nulis surat itu. Kemudian dia nitip surat itu dengan pede-nya dan tanpa curiga kalau suratnya akan disabotase (yang ini pengaruh sinetron). Kemudian bagaimana temannya menyerahkan surat tersebut. Dan pada akhirnya, surat itu sampai ke tangan aku.
Era digital saat ini, menerima surat telah menjadi sesuatu yang begitu langka. Surat undangan adalah pengecualian. Bukankah akan lebih simpel dan efektif jika berbicara langsung. Entah itu lewat telepon ataupun video call. Bukankah akan lebih cepat sampai jika mengirim sms dibandingkan mengirim surat. Ah, jaman mulai bergeser. Semuanya serba instan. Itulah alasan kenapa aku nyesel udah buang surat itu. Dalam hal ini, aku lebih suka pada proses dibanding hasilnya. Iya, proses pengiriman surat itu. Awal mula si Iwan nulis surat itu. Kemudian dia nitip surat itu dengan pede-nya dan tanpa curiga kalau suratnya akan disabotase (yang ini pengaruh sinetron). Kemudian bagaimana temannya menyerahkan surat tersebut. Dan pada akhirnya, surat itu sampai ke tangan aku.
Pertama kali “pisah” dengan orang tua
Bukan pisah dalam arti sebenar-benarnya pisah dan tak bertemu lagi. Maksud aku “pisah” tak lelap bersama di bawah satu atap yang sama. “pisah” ini terjadi saat umur aku 11 tahun. Saat itu, orang tua aku baru saja selesai membangun sebuah rumah dan memutuskan untuk tinggal di rumah tersebut. Namun aku nggak ikut pindah dengan mereka, padahal rumah itu hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari rumah yang aku tempati sebelumnya, rumah nenek. Sampai saat ini aku juga masih heran kenapa saat itu aku nggak mau ikut pindah rumah.
Setelah lulus SD, saat umur aku
12 tahun, aku hijrah ke Palu dan tinggal di sebuah pesantren. Selama setahun
orang tuaku menempati rumah barunya, terhitung hanya ada 2 malam aku menginap
di rumah itu. Jika ditotal hingga saat ini, mungkin hanya ada setahun waktu aku
yang aku gunain di rumah. Selebihnya di kampung orang. Padahal orang tuaku
sudah lebih dari 13 tahun menetap di rumah ini.
Pertama kali datang bulan
Karena aku cewek, aku normal dan aku sehat. Alhamdulillah aku pun mengalami yang namanya menstruasi. Pertama kali “dapet”, saat itu aku udah duduk di kelas 1 SMP. Kejadiannya setelah seminggu lepas lebaran idul fitri. Siang itu, pulang dari rumah teman, aku kebelet dan langsung masuk ke kamar mandi. #yang pasti kamar mandi di rumah aku, bukan di rumah orang. hehehe. Saat pipis, aku liat ada sedikit gumpalan berwarna merah tua yang ikut ngalir bersama urine. Reaksi aku biasa aja, aku udah tau sebagai perempuan remaja, aku bakal dapat kayak gini. Alhamdulillah akhirnya aku “dapet” juga sama seperti teman-teman aku lainnya. eh iya, sama seperti teman-teman putri aku lainnya. Sorry ada yang protes tadi, katanya dia nggak ngalamin ini, soalnya dia teman aku lain jenis. Bukan berarti dia gumiho atau semacamnya ya, hehehe.
Kejadian ini nggak diketahuin
sama nyokap. Padahal di rumah hanya ada kita berdua yang cantik, yang lainnya
orang-orang tampan. Iya, aku nggak cerita ke nyokap karena bingung gimana
ngasih taunya di hari pertama itu. Di hari kedua, aku udah harus balik ke Palu
karena liburan sekolah sudah usai. Dan aku menghabiskan sisa hari “dapet” itu
di asrama putri. #Ah, aku jadi kangen dengan suasana asrama pesantren dulu.
Setelah yang pertama itu, aku baru “dapet” lagi setahun setelahnya (yang ini out of topic). Itu berarti aku “dapet” yang kedua kalinya. Nah, baru di yang kedua ini, aku ngasih tahu nyokap. Pikiran aku saat itu, ya, kalau nggak ngasih tahu, aku bakal dibangunin terus untuk sahur. Karena saat itu sedang dalam bulan Ramadhan. Setelah aku ngasih tahu, nyokap langsung ngajarin cara pakai sesuatu yang semestinya dipakai saat datang bulan (bukan bulan ramadhan yah). Coba tebak apa itu? Yap, benar sekali, itu adalah sesuatu yang memang harus dipakai dengan tujuan untuk mengurangi celana atau rok kotor akibat sesuatu berwarna merah meninggalkan jejak di sana. #apa sih ribet amat bahasanya.
Pengetahuan mengenai hal-hal
seputar reproduksi sudah seharusnya setiap orang paham benar dan benar-benar
paham tentang ini. Apalagi sebagai seorang wanita dengan segala
keistimewaannya. Aku sangat sadar akan hal ini. Pelajaran itu bertahap sesuai
dengan perkembangan usiaku. Semuanya aku terima secara terbuka dan nggak ada
yang namanya cengeng, cemas dan takut. Entahlah, sikap ini juga mungkin karena aku
anak pertama yang dituntut harus lebih dewasa.
Coba aja kalau saat itu aku udah
tau, bahwa seorang perempuan yang telat datang bulan biasanya akan hamil.
Mungkin aku bakal ketakutan, bagaimana nanti kalau aku punya anak. Oh my God, aku
nggak bisa bayangin. Aku Cuma dengar dari cerita teman-teman aku di asrama.
#lagi-lagi aku kangen. Bahwa jangka waktu antara haidh pertama dan kedua itu
biasanya memang lama. Alhamdulillah aku punya teman yang baik ketika masuk
ke masa remaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar