Tes Potensi Akademik

Senin, 09 Mei 2011

Aku Bersyukur (edition for Dad)

Jika pada tulisan sebelumnya aku menceritakan bagaimana aku bersyukur karena memiliki ibu yang hebat maka kali ini aku pun ingin mengurai kisah seseorang yang tak kalah hebatnya. Papa ,dialah orang hebat itu yang menjadikan aku selalu bersyukur menjadi anak dari beliau. Telah berjuta-juta tetes keringat dari punggung Papa mengalir demi lembaran rupiah untuk biaya pendidikan putrinya ini. Sungguh aku tak meragukan kasih sayang Papa padaku. Aku tak perlu bertanya dan tak perlu mendengar kata-kata sayang dari Papa sebab aku yakin tak ada yang dapat mengalahkan besarnya kasih sayang Papa padaku.



Namun sepertinya aku harus memutar otak untuk menulis berbagai kisahku bersama Papa. Aku bukan seorang Cinta yang sangat erat dengan ayahnya sang Uya Kuya, aku pun bukan Aru** yang membiarkan ayahnya susah payah mencarinya karena dia melarikan diri. Bukan sedikit kenangan aku bersama Papa, namun sepertinya aku telah membiarkan kenangan berharga itu buyar. Hanya satu yang aku ingat tentang Papa bahwa aku sangat menyayangi Papa dan Papa sangat sayang kepadaku.

Dulu, di saat aku berumur 8 tahun, saat anak-anak seusiaku diajari bersepeda oleh ayah mereka, Papa tak pernah mengajariku bersepeda, bahkan Papa tak mengijinkan aku untuk belajar mengendarainya. Papa punya berbagai macam alasan untuk melarangku bersepeda. Papa hanya tak ingin terjadi sesuatu di saat aku mengendarai sepeda di jalan raya. Papa memarahiku saat Papa tahu aku belajar mengendarai sepeda menggunakan sepeda temanku. Papa juga akan memukulku jika sampai waktu maghrib aku masih bermain di rumah tetangga. Namun, Pukulan-pukulan semasa kecilku itu membuat aku tahu bahwa hidup ini keras dan jangan coba-coba bermain dengannya. Dalam pukulan itu tersirat pula pesan “jangan jadi anak manja dan cengeng” dan masih banyak pesan lainnya seperti “sudah saatnya kamu peduli terhadap lingkungan di sekitarmu (keluarga)” jangan keasyikan dengan dunia luarmu hingga kau melupakan tempat kembalimu.

Aku bersyukur, karena Papa adalah sosok yang demokratis. Saat menamatkan sekolah dasar Papa berharap aku akan meneruskan pendidikan di SMP ternama di Palu. Aku menolak keinginan Papa tersebut dan bermaksud untuk melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren. Papa mengiyakan ketika aku mengutarakan niatku tersebut dan berkata “sekolah dimana saja yang kau mau, sepanjang Papa masih sanggup untuk membiayainya “. Papa membiarkan aku dan kedua adikku memilih dan memutuskan apa yang menjadi keinginan kami dengan syarat kami dapat bertanggung jawab terhadap semua itu.

Dulu saat di pesantren aku senang jika Papa datang menjemputku di akhir pekan. Masuk pesantren memang keinginanku, tapi sekuat apapun tekad itu, aku tetap tak mampu membendung kerinduanku pada Papa dan juga Mama. Sebab semua kebaikan hidup ku peroleh melalui mereka. Semua nikmat yang aku rasakan pemberian Allah dan Allah memberikannya padaku dengan perantara orang tuaku. Tangan mereka selalu menadah memohon pada Allah agar selalu menjagaku, sebab aku terpisah jarak yang cukup jauh dari mereka. Aku teringat perkataan seorang ustadzah saat masih di pesantren. Beliau mengatakan bahwa doa yang cepat dikabulkan dari ayah untuk anaknya adalah doa mengenai kebaikan, sedang dari ibu adalah doa keburukan. Maka berbaik hatilah pada ayah agar senantiasa didoa olehnya. Tapi aku yakin tanpa diminta pun Papa akan selalu mendoa untukku.



Saat aku memutuskan untuk mengambil kuliah di luar kota bahkan luar pulau Papa pun enggan melepasku. Kata Papa sekolah tak perlu menempuh jarak sejauh itu jika di sini, di Palu pun bisa bersekolah. Tak ada bedanya, tutur beliau. Aku yakin saat itu Papa hanya tak ingin putri kecilnya pergi meninggalkannya sejauh itu. Sangat berat Papa melepasku. Semua karena kekhawatirannya. Mungkin Papa mempunyai pertimbangan lain sehingga akhirnya dengan diam-diam Papa menyiapkan biaya keberangkatanku dan cemas jika rupiah tersebut tidak mencukupi kebutuhanku.

Papa pernah sesekali mengantarku ke bandara saat aku akan kembali ke Bogor. Ketika itu aku sangat ingin memeluk Papa dan mengatakan aku akan baik-baik saja di sana. Tapi sampai sekarang hal itu tak pernah aku lakukan karena aku yakin bukan kekuatan tekad yang aku dapatkan melainkan isak tangis yang akan terdengar dariku. Aku hanya mampu mencium khidmat tangan Papa. Saat itu hanya satu pesan Papa, jaga dirimu dan jika telah sampai beritakan pada kami semua. Di bandara, Papa, Mama, dan Tante (kakak papa) akan menunggu hingga si sayap besi tersebut tinggal landas menuju pulau Jawa meninggalkan Palu, baru kemudian mereka meninggalkan bandara.

Walaupun biaya kuliah dan hidupku selama masa kuliah ditanggung oleh kementerian agama, tak jarang aku juga memohon pada Papa sedikit tambahan jika suatu waktu aku kekurangan. Setiap kali menelepon ke rumah, tak pernah luput pertanyaan dari Papa “masih ada uang?”. Papa tak pernah mengajarkan kepada anak-anaknya untuk hidup materialistik. Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya membutuhkan uang. Pertanyaan itu hanya menyiratkan tanggung jawab Papa kepada keluarganya, dan Papa tak ingin aku kekurangan satu pun yang aku butuhkan di sini.
Pernah suatu kali Papa mengatakan padaku “uang yang kamu butuhkan sudah ditransfer, coba dicek”. Saat itu pun aku langsung mengeceknya dan ternyata uang yang ditransfer Papa melebihi yang aku butuhkan. Aku tanya “kok lebih Pa?”, apa jawab beliau “oh, mungkin teller bank itu emang ngelebihin”. Ada- ada saja ulah Papa, aku pun tersenyum. Kupikir Papa tak pernah bisa melawak denganku. Acap kali Papa juga menyanggah jika mama menyuruhku untuk menyisihkan sebagian uang untuk investasi masa depan. Papa berdalih bahwa uang yang diberikan saja tidak cukup, bagaimana harus menabung.

Aku membutuhkan Papa bukan sebagai “ATM” yang tiap saat aku bisa merengek meminta tambahan uang. Aku bersyukur karena Papa selalu menjadi superhero dalam hidupku. Sosok Papa yang begitu tenang dan menenangkan itu yang aku butuhkan. Aku butuh ketegasan Papa saat mengatakan “tidak” untuk kebaikan putrinya yang selalu kecil dimatanya. Aku butuh tangan Papa, tangan yang membuat aku merasa aman dan nyaman saat dirangkulnya. Aku tak pernah melihat Papa menangis kecuali ketika meminta maaf dan bersimpuh dihadapan ibunya (nenekku) di hari lebaran. Terkadang aku takut pada Papa, takut pada kemarahannya yang bisa membuat perih dihatinya.

Aku bersyukur sebab sampai detik ini Papa masih sanggup membiayai pendidikanku. Saat ini aku sedang melakukan penelitian untuk Tugas Akhir sebagai seorang sarjana. Jika tak ada aral melintang, Insya Allah dalam waktu dekat ini aku dapat menyelesaikan kuliahku dengan baik. Aamiin! Aku ingin saat wisudaku nanti, Papa menjadi orang yang pertama yang tersenyum bangga dan puas akan keberhasilanku. Papa telah berhasil melaksanakan tugasnya dalam hal memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya. Namun satu lagi tugas Papa untukku “putri kecilnya” yang menantinya jika seorang pria datang melamarku, tugas itu adalah menikahkanku.

Aku bersyukur atas segala nikmat yang Engkau berikan Ya Allah, terlebih aku mempunyai seorang Papa yang hebat. Aku berjanji tidak akan mengecewakannya. Aku berjanji akan selalu mengingat petuah-petuah darinya. Ku mohon agar Allah selalu menjaganya, agar Papa selalu berada dalam kebaikan. Aamiin!
SYUKRAN LAKA YA ABII

Tidak ada komentar: